Senin, 26 Januari 2015

MENGEVALUASI PERANG MELAWAN PENJAJAHAN KOLONIAL HINDIA BELANDA

1.  Perang Tondano
“Perang Tondano yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara “

 (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012:375)


Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenaldalam dua tahap. Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC.Pada saat datangnya bangsa Barat orang-orang Spanyol sudah sampai ditanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara.

Orang-orang Spanyol di samping berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama Kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius.
Fransiscus Xaverius

Setelah tiba di Malaka pada bulan Oktober tahun itu dan selama tiga bulan menunggu kapal tumpangan ke Makassar yang tak kunjung tiba, akhirnya ia membatalkan tujuan semula dari pelayarannya. Ia bertolak dari Malaka pada tanggal 1 Januari1546 dan berlabuh di Amboina, kemudian tingal di pulau itu hingga pertengahan bulan Juni. Setelah itu ia mengunjungi pulau-pulau lainnya di Maluku, termasuk Ternate dan Moro. Segera setelah hari raya Paskah tahun 1546, ia kembali ke pulau Ambon, dan kemudian menuju Malaka. Misi di Ambon ini menjadi salah satu awal sejarah Gereja Katolik di Indonesia.
Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai terganggu dengan
kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate.

Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Bahkan Gubernur Terante Simon Cos mendapatkan kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari pengaruh Spanyol. Simon Cos kemudian menempatkan kapalnya di Selat Lembeh untuk mengawasi pantai timur Minahasa. Para pedagang Spanyol dan juga Makasar yang bebas berdagang mulai tersingkir karena ulah VOC. Apalagi waktu itu Spanyol harus meninggalkan Kepulauan Indonesia untuk menuju Filipina VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang Minahasa menjual berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di Sulawesi Utara. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang Minahasa.
Untuk melemahkan orangorang Minahasa, VOC membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian .




Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simon Cos sangat kesal karena ultimatumnya tidak berhasil.Setelah itu rakyat Tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang menumpuk, tidak ada yang membeli. Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC untuk membeli hasil-hasil pertaniannya. Dengan demikian terbukalah tanah Minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang Tondano I. Orang-orang Minahasa itu kemudian memindahkan perkampungannya di Danau Tondano ke perkampungan baru di daratan yang diberi nama Minawanua (ibu negeri).

 Perang Tondano II


Perang Tondano II terjadi sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yaknipada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels.Daendels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi.


Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-orang Madura, Dayak dan Minahasa.

Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung.
(Ukung adalah pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik). Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar.
Pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau.Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah.









Minggu, 18 Januari 2015

Penguasaan Kepulauan Indonesia

Tirani Matahari Terbit
1. Awal Pemerintahan “Saudara Tua”
Penguasaan Kepulauan Indonesia

Sejak pengeboman Pearl Harbour oleh angkatan udara Jepang pada 8 Desember 1941, serangan terus dilancarkan ke angkatan laut Amerika Serikat di Pasifik dan juga diarahkan ke Indonesia. Serangan terhadap Indonesia tersebut bertujuan untuk mendapatkan cadangan logistik dan bahan industri perang, seperti minyak tanah, timah, dan aluminium.



Pada Januari 1942, Jepang mendarat di Indonesia melalui Ambon dan seluruh Maluku. Jepang berhasil mengusai Tarakan di Kalimantan Timur dan Balikpapan (12 Januari 1942), kemudian menyerang Sumatera dan Jawa (Februari 1942). Pada tanggal 1 Maret 1942, kemenangan tentara Jepang dalam Perang Pasifik menunjukkan kemampuan Jepang dalam mengontrol wilayah yang sangat luas, yaitu dari Burma sampai Pulau Wake. 

Untuk menghadapi gerak invasi tentara Jepang, Belanda membentuk Komando Gabungan Tentara Serikat yang disebut ABDACOM (American British Dutch Australian Command) yang bermarkas di Lembang dan panglimanya bernama Jenderal Sir Archhibald.

Jenderal Sir Archhibald

Kemudian Letnan Jenderal Ter Poorten diangkat sebagai panglima perang tentara Hindia Belanda. Setelah armada Sekutu dapat dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa maka dengan mudah pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di pantai utara Pulau Jawa. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memusatkan pertahanannya di sekitar pegunungan Bandung. Pada waktu itu kekuatan militer Hindia Belanda di Jawa berjumlah empat Divisi atau sekitar 40.000 prajurit termasuk pasukan Inggris, AS, dan Australia. Pasukan itu di bawah komando pasukan sekutu yang markas besarnya di Lembang dan Panglimanya ialah Letjen H. Ter Poorten dari Tentara Hindia Belanda (KNIL).


Letjen H. Ter Poorten

Dalam upaya menguasai Jawa, telah terjadi pertempuran di Laut Jawa, yaitu antara tentara Jepang dengan Angkatan Laut Belanda di bawah Laksamana Karel Doorman. Dalam pertempuran ini Laksamana Karel Doorman danbeberapa kapal Belanda berhasil ditenggelamkan oleh tentara Jepang. Sisasisa pasukan dan kapal Belanda yang berhasil lolos terus melarikan diri menuju Australia. Sementara itu, Jenderal Imamura dan pasukannya mendarat di Jawa pada tanggal 1 Maret 1942. Pendaratan itu dilaksanakan di tiga tempat,
yakni :


Untuk menghadapi pasukan Jepang, sebenarnya Sekutu sudah mempersiapkan diri, yaitu antara lain berupa tentara gabungan ABDACOM, ditambah satu kompi Akademi Militer Kerajaan dan Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Jawa Barat. Di Jawa Tengah, telah disiapkan empat batalion infanteri, sedangkan di Jawa Timur terdiri tiga batalion pasukan bantuan Indonesia dan satu batalion marinir, serta ditambah dengan satuan-satuan dari Inggris dan Amerika. Meskipun demikian, tentara Jepang mendarat di Jawa dengan jumlah yang sangat besar, sehingga pasukan Belanda tidak mampu memberikan perlawanan.

Pasukan Jepang dengan cepat menyerbu pusat-pusat kekuatan tentara Belanda di Jawa. Tanggal 5 Maret 1942 Batavia jatuh ke tangan Jepang.Tentara Jepang terus bergerak ke selatan dan menguasai kota Buitenzorg (Bogor). Dengan mudah kota-kota di Jawa yang lain juga jatuh ke tangan Jepang. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 Jenderal Ter Poorten atas nama komandan pasukan Belanda/Sekutu menandatangani penyerahan tidak bersyarat kepada Jepang yang diwakili Jenderal Imamura. Penandatanganan ini dilaksanakan di Kalijati, Subang. Dengan demikian berakhirlah penjajahan Belanda di Indonesia. Kemudian Indonesia berada di bawah pendudukan tentara Jepang. Gubernur Jenderal Tjarda ditawan. Namun Belanda segera mendirikan pemerintahan pelarian (exile government) di Australia di bawah pimpinan H.J. Van Mook.

H.J. Van Mook.

Menyimak dari gerakan tentara Jepang untuk menguasai Indonesia berlangsungbegitu cepat itu memang menarik. Hal ini ada kaitannya dengan perkembangan
sebelumnya.


Menjelang akhir abad 19, Jepang  melaksanakan modernisasi dengan Restorasi Meiji. Hal ini berakibat munculnya Jepang menjadi kekuatan baru di bidang industri. Untuk mendukung keberberlanjutan industrinya, maka Jepang memerlukan daerah sumber bahan baku dan pemasaran produksi. Sehingga mendorong Jepang melakukan interaksi dengan Indonesia. Interaksi yang saling menguntungkan ini berkembang pesat. Perkembangan ini memaksa pemerintah kolonial mengeluarkan berbagai bentuk  kebijakan untuk membatasi penetrasi ekonomi Jepang di Indonesia, namun tidak banyak berhasil.

Di samping itu, juga terdorong oleh ajaran yang berkaitan dengan Shintoisme, khususnya tentang Hakko ichiu, yakni ajaran tentang kesatuan keluarga umat manusia.Ajaran Hakko ichiu diperkuat oleh keterangan antropolog yang menyatakan bahwabangsa Jepang dan Indonesia serumpun. Untuk merealisasikan keinginannya itu maka sebelum gerakan tentara Jepang itu datang ke Indonesia, Jepang sudah mengirim para spionase untuk datang ke Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya.